Menurut
cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar dan
apakah Mante itu termasuk juga dalam
suku Mantra?
Suku Mantra mendiami daerah
antara selangor dan gunung Ophir di Semenanjung tanah Melayu.
Madat, Simpang Ulim |
Invasi
pertama yang dialami para Mante dilakukan
oleh orang-orang Batak, mereka
mendesak daerah-daerah pantai Aceh inti ke pedalaman XXII mukim dari pantai
Barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Menurut beberapa sumber, besar
kemungkinan orang Mante telah
didominasikan oleh orang-orang Batak. Akan tetapi kerajaan Mante-Batak itu
akhirnya dikuasai oleh orang-orang Hindu,
penguasaan ini terjadi
melalui hubungan perdagangan antara indonesia dan India yang menyebabkan agama
Hindu ikut tersebar di Aceh dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.
Di
daerah Jawa maupun Sumatra tidak terlepas dari kolonisasi dan penjajahan Hindu.
Besar kemungkinan, imigran Hindu dimulai dari pantai Utara dan Timur Aceh hingga ke pedalaman. Dari
Gigieng dan Pidie dan juga dari daerah Pase, mereka bergerak kepedalaman Aceh,
yaitu XXII mukim dan sebagian orang-orang Hindu menetap disana untuk berkembang-biak ke seluruh daerah Aceh
sementara sebagiannya lagi bergerak ke arah Selatan dan daerah lainnya.
Saat
itulah awal mulanya masuk orang-orang Hindu ke Aceh, dan tujuan utama mereka
yaitu berniaga atau berdagang. Bahkan bukan orang-orang Hindu saja yang mulai
berniaga ke Aceh, tetapi orang-orang Eropa dan beberapa bangsa lain juga ikut
meramaikan perdagangan di Aceh. Kapal-kapal
besar pun pulang dan pergi dari pelabuhan Aceh, karena pada saat itu Aceh
terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Perdagangan ini
terjadi sekitar abad ke-6 M atau sebelum terbentuknya VOC. Penjajahan ini
pertama sekali terjadi di Aceh sebelum Belanda dan Jepang menjajah wilayah Aceh
Besar dan sekitarnya, atau sebelum
masuknya agama Islam ke Indonesia pad abad ke-7 M yaitu pada masa kekuasaan
kerajaan Sriwijaya.
Dahulu
pada saat sedang megahnya perdagangan bangsa Eropa, Hindu dan bangsa lain datang
ke Nusantara, ketertarikan akan hasil bumi
yang telah mengantarkan mereka ke Aceh, terutama
rempah-rempah (pala, lada, cengkeng dan sebagainya). Sebuah lokasi atau
daerah yang saat itu belum memiliki status pemerintahan tetapi yang terdapat hanya tempat-tempat pertukaran barang atau
jual beli antara orang-orang Eropa dan pemilik kebun di daerah setempat.
Daerah
yang belum mempunyai nama ini banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari
bermacam-macam bangsa. Dikarenakan banyaknya
pegunjung
yang berdatangan, maka
dibuatlah suatu tempat yang ukurannya lebih kurang 1/4 hektare. Tempat ini dipanggil dengan sebutan fila
atau dalam bahasa Aceh disebut cet,
fila ini dikelilingi oleh parit-parit, tujuannya agar orang-orang tidak dapat
sembarangan masuk kedalamnya tanpa izin dari penjaga fila. Sebuah jembatan kecil di buat untuk menuju ke dalam fila.
Penjagaan dan pemeriksaan yang sangat ketat.
Di fila itulah terbentuk
sebuah tempat penghisap candu yang dibawa oleh bangsa-bangsa
Eropa ke daerah ini. Setiap
pedagang dapat singgah ke fila untuk beristirahat sambil menikmati
candu/heroin. Sekian lama, akhirnya
fila ini diberi nama dengan sebutan Cet
Madat. Madat yang berarti sebuah
tempat yang tertutup dan di jaga ketat untuk menghisap candu atau istilah
sekarang heroin.
Semakin
lama daerah ini ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan bangsa Eropa dan bangsa
lain. kemudian terjadilah
sebuah kota kecil, akibat banyaknya pengunjung-pengunjung luar yang datang ke
daerah itu, maka terbentuklah suatu pemerintahan gampong yang disebut gampong Madat. Dan disekitarnya pun terjadilah gampong-gampong lain,
diantaranya gampung Matang Kupula, gampong
Ulee Ateung, gampong Abiek Gelantee, gampong Paya Deemam,
dan lain-lain,
masing-masing diberi nama sesuai dengan kondisi alam setempat. Pemerintahan
ini di pimpin oleh Ulee Balang atau kepala pemerintah, dan madat ini
dimasukkan ke salah satu wilayah jajahan Ulee Balang yang bertempat di Simpang Ulim.
Wilayah
yang terkenal dengan kota candu ini, kemudian dijajah oleh pemerintah Belanda dalam
jangka waktu yang cukup lama,
dan nama Madat pun semakin termasyhur sampai ke belahan dunia Eropa. Pada saat
akhir penjajahan pemerintahan Belanda di Madat, masuklah awal masa penjajahan Jepang
di Aceh sampai ke pelosok daerah Aceh, semua kegiatan perdagangan candu di obrak-abrik
oleh penjajah Jepang, sehingga bangsa Eropa, Belanda, Portugis dan lain-lainnya
melarikan diri dan lokasi perdagangan candu ini di hancurkan oleh Jepang.
Tiga
tahun kemudian Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), daerah Madat hanya
tinggal puing-puing yang telah terbakar dan dihancurkan oleh Jepang. Sekarang
yang bisa kita liat hanyalah sebuah lokasi,
seperti tambak ikan di pertengahan gampong yang jauhnya sekitar 100 meter dari
rel kereta api yang bertepatan di depan menasah Madat. Sangat memprihatinkan, peninggalan sejarah ini sedikit pun tidak
mendapat perhatian atau pemudaran dari pemerintah setempat, sehingga peninggalan
sejarah ini telah kehilangan jejaknya. Jika ditanyai tentang sejarah Madat
kepada masyarakat penduduk sekarang, hanya beberapa orang saja yang
mengetahuinya/orang-orang yang sudah lama tinggal di Madat. Sampai saat ini,
Madat telah menjadi sebuah pemerintahan yaitu Kecamatan Madat Kabupaten Aceh Timur.
Kemudian terbentuklah sebuah pemukiman penduduk yang disebut Mukim Madat.
Bangsa kita, Aceh khususnya sangat kurang mendapatkan
perhatian dalam melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah. Semoga
kedepannya, peninggalan yang masih tersisa hingga saat ini, mendapatkan
perhatian khusus. Sejarah adalah simbol suatu bangsa. Sejarah adalah akar serta
cerminan dari suatu bangsa untuk dapat berdiri kokoh dan kuat.
Kata
Kunci : Ureung Mante, Penjajahan Belanda dan Jepang, rempah-rempah, Madat, Fila atau Cet, sejarah Aceh/Madat.