Selasa, 02 Juli 2013

SEDJARAH DI AMBANG POHON



Menurut cerita-cerita rakyat, penduduk asli Aceh disebut ureueng Mante. Sejauh mana riwayat itu dapat dianggap benar dan apakah Mante itu termasuk juga dalam suku Mantra? Suku Mantra mendiami daerah antara selangor dan gunung Ophir di Semenanjung tanah Melayu.
Madat, Simpang Ulim
Invasi pertama yang dialami para Mante dilakukan oleh orang-orang Batak, mereka mendesak daerah-daerah pantai Aceh inti ke pedalaman XXII mukim dari pantai Barat Aceh ke pedalaman daerah tersebut. Menurut beberapa sumber, besar kemungkinan orang Mante telah didominasikan oleh orang-orang Batak. Akan tetapi kerajaan Mante-Batak itu akhirnya dikuasai oleh orang-orang Hindu, penguasaan ini terjadi melalui hubungan perdagangan antara indonesia dan India yang menyebabkan agama Hindu ikut tersebar di Aceh dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia.
Di daerah Jawa maupun Sumatra tidak terlepas dari kolonisasi dan penjajahan Hindu. Besar kemungkinan, imigran Hindu dimulai dari pantai Utara dan Timur Aceh hingga ke pedalaman. Dari Gigieng dan Pidie dan juga dari daerah Pase, mereka bergerak kepedalaman Aceh, yaitu XXII mukim dan sebagian orang-orang Hindu menetap disana untuk  berkembang-biak ke seluruh daerah Aceh sementara sebagiannya lagi bergerak ke arah Selatan dan daerah lainnya.
Saat itulah awal mulanya masuk orang-orang Hindu ke Aceh, dan tujuan utama mereka yaitu berniaga atau berdagang. Bahkan bukan orang-orang Hindu saja yang mulai berniaga ke Aceh, tetapi orang-orang Eropa dan beberapa bangsa lain juga ikut meramaikan perdagangan di Aceh. Kapal-kapal besar pun pulang dan pergi dari pelabuhan Aceh, karena pada saat itu Aceh terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Perdagangan ini terjadi sekitar abad ke-6 M atau sebelum terbentuknya VOC. Penjajahan ini pertama sekali terjadi di Aceh sebelum Belanda dan Jepang menjajah wilayah Aceh Besar dan sekitarnya, atau sebelum masuknya agama Islam ke Indonesia pad abad ke-7 M yaitu pada masa kekuasaan kerajaan Sriwijaya.
Dahulu pada saat sedang megahnya perdagangan bangsa Eropa, Hindu dan bangsa lain datang ke Nusantara, ketertarikan akan hasil bumi yang telah mengantarkan mereka ke Aceh, terutama rempah-rempah (pala, lada, cengkeng dan sebagainya). Sebuah lokasi atau daerah yang saat itu belum memiliki status pemerintahan tetapi yang terdapat  hanya tempat-tempat pertukaran barang atau jual beli antara orang-orang Eropa dan pemilik kebun di daerah setempat.
Daerah yang belum mempunyai nama ini banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan dari bermacam-macam bangsa. Dikarenakan banyaknya pegunjung yang berdatangan, maka dibuatlah suatu tempat yang ukurannya lebih kurang 1/4 hektare. Tempat ini dipanggil dengan sebutan fila atau dalam bahasa Aceh disebut cet, fila ini dikelilingi oleh parit-parit, tujuannya agar orang-orang tidak dapat sembarangan masuk kedalamnya tanpa izin dari penjaga fila. Sebuah jembatan kecil di buat untuk menuju ke dalam fila. Penjagaan dan pemeriksaan yang sangat ketat. Di fila itulah terbentuk sebuah tempat penghisap candu yang dibawa oleh bangsa-bangsa Eropa ke daerah ini. Setiap pedagang dapat singgah ke fila untuk beristirahat sambil menikmati candu/heroin. Sekian lama, akhirnya fila ini diberi nama dengan sebutan Cet Madat. Madat yang berarti sebuah tempat yang tertutup dan di jaga ketat untuk menghisap candu atau istilah sekarang heroin.
Semakin lama daerah ini ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan bangsa Eropa dan bangsa lain. kemudian terjadilah sebuah kota kecil, akibat banyaknya pengunjung-pengunjung luar yang datang ke daerah itu, maka terbentuklah suatu pemerintahan gampong yang disebut gampong Madat. Dan disekitarnya pun terjadilah gampong-gampong lain, diantaranya gampung Matang Kupula, gampong Ulee Ateung, gampong Abiek Gelantee, gampong Paya Deemam, dan lain-lain, masing-masing diberi nama sesuai dengan kondisi alam setempat. Pemerintahan ini di pimpin oleh Ulee Balang atau kepala pemerintah, dan madat ini dimasukkan ke salah satu wilayah jajahan Ulee Balang yang bertempat di Simpang Ulim.
Wilayah yang terkenal dengan kota candu ini, kemudian dijajah oleh pemerintah Belanda dalam jangka waktu yang cukup lama, dan nama Madat pun semakin termasyhur sampai ke belahan dunia Eropa. Pada saat akhir penjajahan pemerintahan Belanda di Madat, masuklah awal masa penjajahan Jepang di Aceh sampai ke pelosok daerah Aceh, semua kegiatan perdagangan candu di obrak-abrik oleh penjajah Jepang, sehingga bangsa Eropa, Belanda, Portugis dan lain-lainnya melarikan diri dan lokasi perdagangan candu ini di hancurkan oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), daerah Madat hanya tinggal puing-puing yang telah terbakar dan dihancurkan oleh Jepang. Sekarang yang bisa kita liat hanyalah sebuah lokasi, seperti tambak ikan di pertengahan gampong yang jauhnya sekitar 100 meter dari rel kereta api yang bertepatan di depan menasah Madat. Sangat memprihatinkan,  peninggalan sejarah ini sedikit pun tidak mendapat perhatian atau pemudaran dari pemerintah setempat, sehingga peninggalan sejarah ini telah kehilangan jejaknya. Jika ditanyai tentang sejarah Madat kepada masyarakat penduduk sekarang, hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya/orang-orang yang sudah lama tinggal di Madat. Sampai saat ini, Madat telah menjadi sebuah pemerintahan yaitu Kecamatan Madat Kabupaten Aceh Timur. Kemudian terbentuklah sebuah pemukiman penduduk yang disebut Mukim Madat.
Bangsa kita, Aceh khususnya sangat kurang mendapatkan perhatian dalam melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah. Semoga kedepannya, peninggalan yang masih tersisa hingga saat ini, mendapatkan perhatian khusus. Sejarah adalah simbol suatu bangsa. Sejarah adalah akar serta cerminan dari suatu bangsa untuk dapat berdiri kokoh dan kuat.

Kata Kunci : Ureung Mante, Penjajahan Belanda dan Jepang, rempah-rempah,  Madat, Fila atau Cet, sejarah Aceh/Madat.

Senin, 01 Juli 2013

Hanya Sejarah Yang Ku Punya




Hujan bukan rintik-rintik. Sekian lama menunggu hujan akhirnya nonggol juga. Ini bukan cerita biasa, bukan jalan-jalan biasa, dan bukan karangan biasa tapi ini bukan juga sejarah biasa. Semua berawal di hari minggu pada jam 09.00 pagi. Sesuatu yang cetar membahana badai  terjadi. Pagi itu Kutaraja di guyur hujan asmara. Kenikmatan yang luar biasa. Serasa seperti satu-satunya makhluk hidup yang haus akan hujan.

Minggu ini FLP mengadakan tour pariwisata jelajah sejarah-sejarah Aceh. Nah, ini bukan sembarang tour, tapi ini adalah tour pariwisata serbajadi. Berawal di hari yang sama tetapi berakhir di jam yang berbeda. Jelajah bermula di Rumoh Aceh daerah Setui kota Kutaraja atau nama kerenya kota Banda Aceh.

Pagi itu aku terdampar ke Museum Tsunami Aceh. Kesalahan informasi penyebabnya. Seperti manusia biasa yang tidak tau kabar menghebohkan. Lima belas menit berlalu. Hujan semakin deras. Kecepatan hujan tidak bisa terhitung dengan hukum Newton. Aceh Boh Gaca Masal, itu nama acara yang telah menggetarkan Museum Tsunami. Seribu lebih peserta dengan baju ungu dan hitam ikut terjun ke dalamnya.
“Nomor berapa, dek?” Tanya lelaki tua.
“Gak ada nomor pak” jawabku kepada lelaki tua misterius itu yang tiba-tiba di sampingku.
Aku fokuskan pandangan ke depan, dua anak muda setengah tua sedang bersyair (dalam bahasa Aceh meucae). Syair adalah khas orang Aceh dalam penyambutan sebuah acara. Bicara mereka dengan cepat ditambah nada suara yang berayun-ayun. Dua buah kalimat yang masih teringat hingga sekarang.

“Boh gaca adalah seni khas Aceh, yang mengangkat nilai-nilai budaya aceh. Keun lage ureung laen kadoh ngon Expo, melagu kibot ngon meujoget-joget di ateuh panggung”  ucap dua pemuda ini dengan irama syair.


Hatiku berkata Alhamdulillah. Lama-lama aku bingung menterjemahkan kata-kata dalam syair itu. Bahasa Aceh aku sedikit berbeda dengan mereka. bahasa penyair itu adalah asli bahasa Aceh. Bahasa Aceh sangat beragam, antara timur, barat, selatan, dan utara semuanya berbeda.

Shok aku, setelah jalan-jalan aku kembali ke halaman depan. OMG…ternyata mereka lagi goyang dangdut. Hahaha…..terlahap omongan sendiri.

Menunggu sangat membosankan. Di tengah derasnya hujan, aku kembali melanjutkan jalan-jalan mengelilingi Museum Tsunami. Ornamen dan tekstur bangunan ini sangat khas. Bentuknya seperti obat nyamuk. Di samping bangunan ini terdapat makam orang-orang Belanda yang telah rontok di aceh perang.

Beberapa saat kemudian, kak Fanny datang. Berhubung sisa pulsa Rp.50, jadi aku tidak dapat menghubungi teman-teman FLP yang lain. Kak Fanny menghubungi Dara. Mereka ternyata sudah kumpul di Rumoh Aceh. Derasnya hujan tidak membuat kami putus asa. Kami segera menancapkan gas kendaraan ke Rumoh Aceh. Tanpa jaket, tanpa mantel. Sangat nikmat bisa bermain hujan seharian. 

Ternyata di Rumoh Aceh tidak ada anak-anak FLP, yang terlihat hanya beberapa kendaraan sepeda motor berjejeran di parkir. Beberapa menit kemudian Nurul datang. Setelah menghubungi, mereka sudah di Makam Pahlawan Iskandar Muda. Tanpa berpikir panjang, bukannya menyusul tapi kami memilih jelajah isi dalam Rumoh Aceh. Harga tiket masuk Rp.750, walah…kenapa gak seribu saja ya. Widih…ternyata para tiketor punya banyak uang koin recehan.

Nah, di pintu utama Rumoh Aceh terlihat beberapa lukisan foto pahlawan terpajang, diantaranya lukisan Teuku Chik di Tiro, Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia. Foto Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia bukanlah lukisan wajah asli, sebenarnya Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia memakai jilbab bukan selendang, dan sehelai rambutpun tidak terlihat.
Ruang tengah sebelah kanan, terdapat kamar pengantin, jadi siapapun yang menikah di keluarga kerajaan akan menempati kamar dengan rinaian kain berwarna pink tersebut. Terdapat beberapa perangkat untuk pesta pernikahan, seperti piring, gelas, dan lain-lain. Wah…jadi pingin. Di dalam lemari terdapat beberapa piring hiasan buatan Belanda dan beberapa peninggalan zaman dahulu. Nah, ada rumor yang mengatakan bahwa makanan yang di letakkan di dalam piring itu tidak akan basi  kurang lebih 24 jam. Amazing dan zuper sekali ya, the power of piring.

Selanjutnya kita menuju ruang belakang. Ruang belakang terdapat dapur dan sebuah ayunan bayi terbuat dari rotan yang tergantung. Rumoh Aceh terdapat tiga sisi ruang yang bentuknya memanjang. Unik dan elegan.

Setelah hujan reda, kami melanjutkan jelajah ke Makan Pahlawan. Wuiissshh….ternyata sudah rame di sana. Ini bukan jelajah biasa, buktinya kami di mentoring oleh seorang guru besar (dosen), namanya bu Laila. Pengetahuan beliau luar dalam biasa. Beliau menjelaskan satu per satu sejarah Aceh. Berhubung aku datangnya terlambat, jadi yang terdengar ujung-ujungnya. Sebenarnya sejarah Aceh sudah tidak awam lagi bagi aku, karena ayahku seorang sejarawan tapi gen beliau telah gugur dalam diri aku.hehehe……….


Berada di samping makam pahlawan seperti merasakan sesuatu yang tidak bisa di ungkapkan. Aku merinding setelah menatap makam dan bangunan di sekitar. Ini tatapan penuh penghayatan akibatnya. Dalam satu pagar terdapat beberapa makam, salah satunya ada makam Raja dan suluruh keturunannya.
Makam Pahlawan


Jalan-jalan selanjutnya ke museum Aceh, letaknya di belakang Rumoh Aceh. Bangunan yang berlantaikan tiga ini terlihat kokoh dengan warna putih. masuk melalui pintu utama kami di sambut dengan rusa berkepala dua. Rusa tersebut berasal dari daerah Pidie  yang di temukan pada tahun…… coba bayangkan berapa umurnya sekarang?


Rusa Berkepala Dua



Dalam museum Aceh terdapat beberapa foto-foto pahlawan, dan berbagai peninggalan zaman kuno. Subhanallah, seperti rekarnasi pada abad sebelum masehi. Rasanya kepingin berada di salah satu foto itu bersama mereka pahlawan-pahlawan sejati. Gaya foto mereka lebih alami dibandingkan gaya orang modern foto, banyak celinak-celinoknya.

Depan Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh


Cukup dulu ya kisah-kasih cerita jalan-jalannya, aku nak pamit dulu. Assalamualaikum. J J :D :D

Hanya sejarah yang ku punya
Bila badai kan menghadang…
Lalalallalala……………..

Tina feet Manis Manja Group






Gunongan, Taman Putro Phang, Banda Aceh


Rumoh Aceh, Setui depan Pondopo, Banda Aceh